Minggu, 13 Maret 2011

Perempuan yang Sedang “Gila”

Mengenang orang yang sangat istimewa, yang sangat berarti, yang terbaik yang pernah dijumpai yang pernah dimiliki yang pernah hadir nyata, yang menyentuh kedalaman hati, adalah sesuatu yang sangat indah. Keindahannya semakin terasa manakala kehilangan sudah ada di genggamannya.

“Hanya indah kuingat dirimu. Aku sudah kehabisan tinta merah untuk membakar amarahmu. Ku sedang ingin mengejar bayang-bayangmu,” kata perempuan itu yang sedang dirundung rindu.

Hari menjelang senja, perempuan yang sedang ingin bercengkerama dengan kemalangan itu menerobos kemacetan pikiran, rambu lalu-lintas sejenak ia abaikan, menabrak kebuntuan otak, menggilas kerumitan masalah yang datang silih berganti yang semua meminta prioritas, melarikan diri dari kesuntukan, hingga pelariannya tiba di tepi sawah.

Ia berdiri dengan kedua tangan terbentang serasa siap terbang, senyumnya mengembang, menyibakkan hamparan padi yang siap menguning. “Tuhan, izinkan aku mengenangnya, mengenang kebaikannya yang membaikkan aku,” bisik perempuan itu di dalam kalbu. Dasar tidak tahu malu, bicara dengan Tuhan seperti itu, memang siapa dirimu, sok bermanja-manja dengan Tuhan! Memangnya Tuhan cuma punya kamu! Bisanya hanya meminta, kapan kamu memberi! Tidak tahu diri!

Perempuan itu berjalan di antara pematang sawah, mengikuti gerakan matahari yang sedang menuju peraduan. “Aku tahu kamu di sini saat ini, di sampingku. Kita berjalan beriringan, membiarkan badan kita ditiup angin sepoi-sepoi,” katanya dalam hati. Perempuan itu yang punya kuasa. Ia sutradaranya. Ia penulis skenarionya. Ia bebas merangkai kata sesuka-sukanya.

Senja bercampur awan mendung, anginnya membuat dingin, pria itu dengan penuh kasih sayang, melepas jaket tebalnya, memindahkannya ke bahu perempuan di sampingnya, membuat perempuan itu merasakan hangat menjalari tubuhnya.

“Butuh satu detik untuk mencintaimu. Dan, butuh seumur hidup untuk melupakanmu,” kata pria itu. Membuat lahar dingin di pelupuk mata perempuan itu menyembur satu-satu. Kesedihan yang dinanti-nanti yang anehnya justru menguatkan hati (omong kosong!). Ia sapu kumpulan lahar dingin itu dengan kedua telapak tangannya, ia gunakan untuk membasuh wajahnya.

Awan mendung berbuah hujan, keduanya terus berjalan, membiarkan diri diguyur siraman air dari langit. Seperti anak kecil yang senang hujan-hujanan sambil berlarian, itulah rasa yang diinginkan.

Lalu dengan seenaknya perempuan itu melayang menembus hujan, mendarat di tepi lautan yang matahari paginya menghangatkan, memegang alat pancing di tangan. Ia tertawa riang manakala merasakan umpannya telah diterkam ikan. Ia tarik ke atas, ikan kakap merah besar menari-nari di ujung pancingnya.

Perempuan itu dengan perasaan senang, terbang membawa ikan kakap besar menembus tembok dapur. Ia siapkan peralatan untuk membakar ikan. Ia menyelesaikan masakannya dengan cepat. Saat berdiri menyiapkan hidangan ikan bakar di meja makan, ia rasakan pria yang dikaguminya itu mendekatinya dari belakang, menyentuh pinggangnya.

“Masakanmu pasti enak, Ay,” kata pria itu.

“Aku akan masak buat kamu suatu hari nanti,” kata perempuan itu.

Sampai di sini, perempuan itu tak berani menjalankan peran sutradara dengan seenaknya. Ada kekuatan lain yang mencegahnya. Pokoknya, dia merasa harus berhenti, ini saatnya berhenti. Ia lepas otak di kepalanya, ia lempar dengan kekuatan penuh di tangan, hingga otak itu terburai di tengah lautan.

Perempuan itu pergi ke rumah sakit, berkonsultasi ke satu dokter ke dokter berikutnya, tapi tak jua mendapatkan obat yang manjur, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menjadi dokter bagi dirinya sendiri.

*Catatan perempuan yang sedang “gila” dimasa mengalami kelumpuhan pikiran yang sangat akut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar